Kamis, 10 Februari 2011

AKSARA LONTARA

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).

Lontara dalam Aksara Lontara

Selasa, 01 Februari 2011

Mengenal Sosok Sawerigading Lebih Jauh

Sawerigading adalah tokoh utama dalam naskah la galigo meskipun bukan sebagai tokoh yang paling banyak berperan dalam pengisi alur dari awal sampai akhir dalam epos la galigo. Tetapi Sawerigading lah awal dari segala penyebab terjadinya semua peristiwa dan kejadian dalam epos la galigo.

Berdasarkan silsilah menerangkan bahwa Sawerigading adalah Cucu dari bataraguru yang mempunyai nama asli la togeq langiq penguasa bumi Sedangkan Nenek Sawerigading berasal dari kerajaan Buriq Liu (Kerajaan Bawah Laut/Air) Ketika Batara guru pertama kali Turun Ke bumi ia ditempatkan di atas bambu Betung nah dari sinilah asal muasal Nama Sawerigading yang dimana terdiri dari 2 kosa Kata yakni Sawe dan Ri Gading yang dimana Sawe Artinya Menetas Dan Ri Gading yang artinya Di atas bambu betung. jadi Arti Sawerigading yakni Keturunan Dari Orang Yang menetas diatas Bambu Betung. Kemudian Bataraguru mempunyai anak yang bernama Batara Lattuq yakni Bapak Sawerigading yang selanjutnya menjadi Cikal bakal Raja-raja Dibumi (kerajaan luwuq/bugis).


Nama-nama lain Sawerigading yang sering muncul dalam Epos La Galigo yakni, To Appanyompa (Orang yang disembah), La Maddukelleng, Langiq paewang (sang penggoyah langit), Pamadeng lette (Pemadam halilintar), Sawe Ri sompa (Keturunan Orang yang disembah), La Pura Eloq (Orang Yang tak terbantahkan kemauannya), La Datu Lolo (Raja Muda), La Oro Kelling (Orang Oro kelling), La Tenritappuq (orang yang tak terkalahkan).

Karena itu dalam diri Sawerigading memiliki darah murni sang dewata sebagai perpaduan antara Dewa Langit (Binting Langiq) dan Dewa bawah laut (Buriq Liu) yang ditempatkan di bumi sebagai penguasa. Karena anak dewa ini telah menjelma menjadi manusia maka seluruh kegiatannya dimuka bumi dilakukan dalam bentuk kehidupan manusia secara normal. Dengan demikian seorang tokoh Sawerigading mempunyai dua Sifat yakni Sifat nya sebagai anak dewa yang memiliki kemahakuasaan dan sifat kemanusiaannya yang nampak dalam aktifitas kesehariannya sebagai manusia.

Bagaimana Seorang anak dewa yang menghidupkan Orang-orangyang yang telah Mati setelah selesai berperang hanya dengan sesajen dan setuhan dari keris Sawerigading, Mendatangkan dan menghentikan amukan alam yang sangat ganas hanya dengan telunjuk Sawerigading, Sawerigading mampu berkomunikasi dengan binatang seperti halnya Sawerigading berkomunikasi dengan seekor Burung yang bernama La Dunru yang menyuruhnya menyampaikan pesan ke We TEnriabeng untuk naik ke botting Langiq untuk melaksanakan pernikahannya. Semua kejadian-kejadian tersebut membuktikan kebesaran dan kemahakuasaan Sawerigading dalam keturunan Dewa. Itulah sebabnya ia diberikan gelar Pamadeng Lette (Sang Pemadam Halilintar), Langiq Paewang (Sang Penggoyah Langit).

Karena Sawerigading telah menjelma sebagai manusia di bumi, maka ia tak lebih dari manusia-manusia lainnya yang berada di bumi yang dimana mempunyai kekurangan-kekuarangan sebagai manusia bumi. Bukti kemanusiaan Sawerigading ketika pada peperangan yang membuat sawerigading meminta bantuan kepada penguasa langit yang dimana Remmang ri langiq suami dari We Tenriabeng turun kebumi untuk membantu sawerigading untuk berperang saat Remmang ri langiq tiba di bumi, ia langsung memerintahkan Sawerigading untuk menyembah Remmang ri langiq sebanyak tiga kali sebagai bukti kemanusiaan sawerigading dengan pengakuan eksistensi ke dewaan Remmang ri langiq.

Sawerigading merupakan sosok manusia bugis yang mempunyai watak yang berdimensi ganda yakni cinta dan dendam, benci dan saying, tegar dan cengeng, lembut dan kasar, halus dank eras sejauh mana sifat tersebut mengejawantan dari pribadi sawerigading, bergantung dari rangsangan-rangsangan yang diterimanya dari luar ia tidak menerima kompromi hanya ada dua pilihan hitam atau putih.

Karena itu, gambaran tentang sawerigading tidaklah sesempurnah dengan tokoh-tokoh pangeran yang seperti kita dengar sebelumnya. Kadang-kadang ia sangatlah cengeng sampai menangis terisak-isak lalu ia ditergur oleh pengawalnya agar ia berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar. Hal seperti ini dapat dilihat ketika cinta sawerigading kepada adik kembarnya we tenriabeng ditolak oleh dewan adapt. Sawerigading juga memiliki sifat yang mudah tersinggung, emosianal, dan sering mengamuk sambil bembabi buta bila perasaan atau sirinya tampa mempertimbangkan resikonya.

Namun sebagai seorang pangeran ia juga memiliki sifat kejantanan dan keperkasaan. Sebagai putra bangsawan sawerigading seorang tokoh yang besar sebagai salah satu tanda kebesaran sawerigading ia selalu menggunakan pakaian kebesaran raja yang semua terbuat dari emas, berupa paying kebesaran yang terbuat dari emas, cincin emas yang semuanya rutun dari langit yang dibawah oleh leluhurnya, dipinggangnya selalu melekat keris emas sebagai symbol keberanian dan kejantangannya.

Ada 4 sifat yang melekat pada Diri Sawerigading yakni
1. Getteng (Teguh pendirian)
2. Warani (Berani)
3. Lempuq (Jujur)
4. Macca (Pintar)

Ketegukan Sawerigading dalam mempertahankan Prinsipnya sangat lah kuat ini dilihat ketika berbagai cobaan dan godaan yang dating tidak menggetarkan semangatnya untuk tetap menggulung layer perahunya sebelum sampai di tujuannya. Godaan-godaan tersebut bukannya menyulutkan hati Sawerigading untuk pergi ke cina malahan cobaan-cobaan tersebutlah yang semakin membakar semangatnya untuk mencari cina. Maka dari itu Sawerigading juga dipanggil dengan sebutan La mampuara Elo (Orang yang tek terbantahkan). Untuk mempertahankan sifat Getteng (Teguh pendirian) harus dibarengi sifat Keberanian nya juga. Keberanian Sawerigading tertantang ketika Sewerigading dihadapkan oleh dua ancaman yakni Ancaman dalam dirinya sendiri dan kekuatan yang berasal dari luar diri manusia ketika iya dihadapkan bujukan, rayuan dan sesuatu yang mempesona yang dapat menlonggarkan dan melepaskan prinsip hidupnya. Disini membutuhkan keberanian moral yang luar biasa ketika mempertahankan yang mana dianggap benar dan dianggapnya salah.

Keteguhan dan keberaniannya Sawerigading itu bukan saja terlihat dalam beberapa peristiwa kepada musuh-musuh sawerigading melainkan dalam hal mengungkapkan sejarah leluhurnya, perasaan hatinya, kebahagiaannya, maupun perasaan lain yang seharusnya di pendalam dalam hati. karena itu sifat teguh dan keberaniannyahanya dapat bila diiringi dengan kejujuran dalam bersikap, berbicara, maupun dalam bertindak.

Kejujuran yang dimaksudkan bukan saja jujur sesame manusia tetapi juga kepada diri sendiri dan kepada Dewa. Kejujuran Sawerigading terlihat saat Sawerigading berterus terang dan terbuka kepada pengawal-pengawalnya dan musuh-musuhnya. Kejujuran yang paling dramatis dalam kisah Sawerigading dalam epos la galigo yakni ketika sawerigading tidak berdaya melawan perasaan cintanya kepada saudara kembarnya yakni we tenriabeng. Sawerigading harus mengungkapkannya walaupun ia mengetahui resikonya sangatlah berat.

Peran Sawerigading sebagai tokoh magis terlihat saat para pasukan sawerigading kewalahan menghadapi pasukan-pasukan la tenrinyiwiq, sawerigading tumpuan terakhir dari mereka agar kiranya memohon kepada dewa untuk menurunkan bantuan di dunia dalam waktu sekejap bantuan itu turun dari langit dan menghancurkan pasukan-pasukan la tenrinyiwiq. Sedangkan peran Sawerigading sebagai seorang keturunan dewa ketika Sawerigading menghidupkan pasukan-pasukannya yang mati dalam peperangan, mendatangkan dan memberhentikan bencana yang dibuat oleh alam dan dapat berbicara kepada binatang-binatang.

Peran Sawerigading sebagai raja terlihat ketika tahluknya para pengawal dan pasukan-pasukan sawerigading dalam perintahnya dialah penentu kebijaksanaan diatas perahu yang dikendarainya untuk mencari cina. Memerintah dan menjalankan tradisi kekuasaan yang diwarisi oleh leluhurnya.

Meskipun demikian Sawerigading bukannya seorang raja yang otoriter, segala sesuatu yang berhubungan dengan operasinalisasi kekuasaan dan pelaksanaan kerajaan dilimpahkan kepada para pembantu-pembantuhnya. Sawerigading adalah Seorang raja yang besar dan tak tertandingi, perahunya besar dan banyak perahu-perahu kecil yang mengiringinya,pasukan yang ribuan sebagai bukti akan kekuasaannya. Tujuh kali pasukan Sawerigading berperang dalam pencarian tanah cina enam pimpinan musuhnya semua mati dan kepalanya digantung diperahu sawerigading sebagai tandak keperkasaannya menumpas musuh.

HIKAYAT LA GALIGO

La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu’ Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’. Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga. Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo.
Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.